Abu Ishaq As-Sabi’i
Memakan Tulang
Tentang Pemilu
Fatwa Syaikh Al Albani rahimahullah ini pernah kuutarakan secara langsung pada beliau: Bagaimana engkau bisa membolehkan mengikuti pemilu? Syaikh Al Albani menjawab: Aku sebenarnya tidak membolehkan pemilu, namun ini adalah mengambil bahaya yang lebih ringan di antara dua bahaya yang ada.
Sedangkan fatwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin adalah fatwa yang aneh, padahal beliau adalah orang yang mengharamkan multi partai dalam satu negara. Namun beliau malah membolehkan perkara yang lebih bahaya daripada hal tadi yaitu masalah pemilu. Padahal pemilu adalah sarana menuju Demokrasi.
Soal:
Para pendukung PEMILU berdalih dengan fatwa Syaikh Al Albany, Syaikh Ibnu Bazz dan Syaikh Al 'Utsaimin, maka bagaimana menurut anda?
Jawab:
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله. وعلى. آله وأصحابه ومن والاه وأشهر أن لا إله. إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله..أما بعد
Para pendukung PEMILU itu adalah musuh-musuh para masyaikh tadi, sungguh kami pernah dengar di komite ma'had ilmiyyah di Shan'a bahwa Al Albani adalah masuni, manakala beliau memberi fatwa untuk kaum muslimin di Palestin untuk keluar ...karena negara itu sudah jadi medan perang, merekapun menghantamnya memvonisnya sebagai orang sesat dan mubtadi'
Demikian pula yang mereka lakukan terhadap Syaikh bin Baaz manakala beliau berfatwa pada kejadian Al Khalij dan ketika beliau berfatwa untuk damai dengan orang Yahudi, dan kami mengatakan ini tanpa membahas benar tidaknya fatwa-fatwa tersebut, merekapun menyerangnya dan menjelek-jelekkan beliau di antara mereka adalah Yusuf Al Qordhowy semoga Allah tidak memberkahinya, sebenarnya mereka mau membakar (menjatuhkan kredibilitas) ulama, karena mereka tidak layak untuk hizbiyyah kecuali apabila mereka butuh untuk minta fatwa mereka, para hizbiyyun pergi ke para masyaikh mereka semacam Qordhowi, fulan dan fulan, adapun Ulama mereka tidak akan pergi kepada mereka bahkan mereka pengen membakar mereka.
Maka kitapun melihat apakah yang terjadi di Jazair bahaya yang paling ringan ataukah yang terjadi justru bahaya yang paling besar??
Bacalah sejarah Abu Hanifah, engkau akan dapati ulama kita melarang dari ro'y dan istihsan (mengembalikan perkara agama kepada akal dan anggapan baik tanpa dalil) dan ulama menganggap bahwa hal itu adalah jalan menuju kepada bid'ah mu'tazilah dan jalan menuju ke pemikiran Tajahhum, fatwa Syaikh Al Albani dari dulu mereka pegang.
Adapun Syaikh Ibnu Utsaimin yang mengherankan dari perkaranya bahwasanya dia mengharamkan dari partai-partai dan kelompok tapi dia bolehkan yang lebih besar dan lebih bahaya dari pada itu yaitu PEMILU yang merupakan batu loncatan kepada demokrasi.
Kukatakan kepada para mulabbis itu: Kalau para Masyaikh tadi taroju' dari fatwa mereka apakah kalian akan taroju' (juga) dari perkara ini atau tidak?
Dan kami katakan: bahwasanya kami melihat keharaman taqlid (membebek), tidak boleh bagi kita untuk bertaqlid kepada Syaikh Al Albani tidak pula terhadap Syaikh bin Baz dan tidak pula taqlid kepada Syaikh Al 'Utsaimin, sebab Allah Ta'ala berfirman dalam kitabNya yang mulia:
اتبعوا ما أنزل إليكم من ربكم ولا تتبعوا من دونه أولياء قليلا ما تذكرون
"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah engkau mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya, sedikit yang mengambil pelajaran"
(QS al-A'raf: 3)
Dan Allah subhanau wa Ta'ala berfirman:
ولا تقف ما ليس لك به علم
"Dan janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tidak memiliki ilmu padanya"
(QS al-Isra': 36)
Jadi Ahlussunnah tidak taqlid,
Kemudian kami katakan kepada para masyaikh: Bahwasanya fatwa kalian ini sangat berbahaya, tidakkah kalian mengetahui bahwasanya bush (mantan presiden Amerika -pent) semoga Allah menghinakannya ketika jadi presiden Amerika pernah berkata: bahwa Su'udiyyah dan Kuwait tidak menerapkan Demokrasi?
Hendaknya para masyaikh taroju' dari fatwa-fatwa ini, dan saya persaksikan kalian bahwasanya saya taroju' dari setiap kesalahan pada kitab-kitabku atau kaset-kasetku atau dakwahku karena Allah 'azza wa jalla...Aku taroju' dengan senang hati, dan para masyaikh tiada beban atas mereka apabila mereka taroju', bahkan wajib atas mereka untuk taroju', karena mereka tidak tahu apa yang terjadi di Yaman, dan apa yang terjadi di Majlis Perwakilan Rakyat, dan kerusakan apa yang timbul disebabkan PEMILU, pembunuhan dan peperangan demi PEMILU, keluarnya wanita dengan berhias, foto wanita gara-gara PEMILU, menyamakan kitab, sunnah dan agama dengan kekufuran gara-gara PEMILU, dan maslahat apakah yang telah diwujudkan oleh PEMILU ini??
Maka wajib atas masyaikh untuk taroju', dan kami akan mengirimkan kepada mereka insya Allah, kalau mereka tidak taroju' maka kami mempersaksikan Allah bahwasanya kami berlepas diri dari fatwa mereka, karena fatwa tersebut menyelisihi kitab dan sunnah, mereka ridha atau marah, harga diri dan darah kami sebagai tebusan agama islam, kami tidak peduli bihamdillah.
Dan mereka (para pendukung. PEMILU) telah terbakar, dan tahu bahwasanya ucapan mereka tiada harganya, kalau mau (coba) kirim seseorang tanpa mereka ketahui, bukan supaya jadi hizbi, tapi supaya dia tahu kalau ikhwanul muslimin telah terbakar di Yaman, dan keutamaan hanya milik Allah azza wa jalla semata.
Amar ma'ruf nahi mungkar, taroju', menolong orang yang dizalimi, menolong saudara mereka ahlus sunnah adalah kewajiban atas mereka, dan tinggalkan/jauhkan dari kami ro'yu dan istihsan.
Kami katakan kepada masyaikh: Apakah pernah ada PEMILU di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala aalihi wa sallam, manakala mereka berselisih pada perkara Usamah bin Zaid apakah dia yang jadi pemimpin atau selainnya?!
Apakah Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala aalihi wa sallam berkata: adakan pemilihan siapa yang dapat suara terbanyak maka dialah yang jadi amir?!
Dan apakah pernah ada Pemilu di zaman Abi Bakr?! Pernahkah ada Pemilu di zaman 'Umar?
Dan apa yang datang riwayat bahwasanya 'Abdurrahman bin 'Auf menyuruh orang-orang memilih sampai wanita dalam rumah pingitan mereka, ini perlu diteliti karena riwayatnya diluar kitab "shahih", maka butuh dikumpulkan sanad-sanadnya, dan saya yakin kalau dikumpulkan sanadnya hasil hukum riwayatnya syadz, dan syadz termasuk dari pembagian riwayat dhaif, kemudian sebagian ikhwah membahasnya diapin mendapati bahwa tambahan ini sangat dhaif.
Apakah pernah PEMILU di masa umawi atau 'Abbasi atau 'Utsmani? Ataukah PEMILU itu datangnya dari arah musuh-musuh islam?!
Telah benar Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala aalihi wa sallam manakala beliau bersabda:
لتتبعن سنن من قبلكم حذو القذة بالقذة حتى لو دخلوا حجر ضب لدخلتموه
"Sungguh kalian akan meniru kebiasaan orang-orang sebelum kalian selangkah demi selangkah sampai kalau mereka masuk liang dhobb kalian akan masuki pula."
PEMILU merupakan perpecahan dan memecah belah persatuan, permusuhan dan kebencian, sampai antar satu keluarga, gara-gara Pemilu ini, ikhwanul muslimin jangan kira bisa menipu kami karena sesungguhnya terkadang mereka memilih orang yang tidak shalat sambil mengatakan: "niatnya baik" ataukah memilih: orang tua yang jahil.
Sungguh dulu mereka menjanjikan manusia di PEMILU pertama bahwa tiada yang menghalangi antara mereka dan antara berhukum dengan hukum islam sampai selesai PEMILU, sekarang mana hukum dengan hukum islam?! Mana pemenuhan janji menteri-menteri mereka yang dulu ada di dalamnya, dan ikhwanul muslimin mereka sendiri yang bilang: "Bahwasanya kami memutuskan suatu keputusan di Dewan Perwakilan, tapi hasilnya keputusan-keputusan selain itu, lalu akhir keputusan dengan apa yang datang dari luar (selain keputusan yang diinginkan)
Bertaqwalah wahai para masyaikh jangan kalian giring kami kepada para peniru Amerika, dan kepada demokrasi yang menghalalkan apa yang Allah haramkan, sungguh telah dibolehkan liwath pada sebagian negara kafir, dan dibolehkan semua yang haram.
Kita adalah kaum muslimin kita punya Kitabullah;
وأن هذا صراطي مستقيما فاتبعوه ولا تتبعوا السبل فتفرق بكم عن سبيله
"Dan bahwasanya ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (selainnya) sehingga kalian tercerai berai dari jalanNya."
(QS al-An'am: 153)
Apakah kita punya agama di zaman dahulu dan punya juga agama di masa sekarang ataukah dia adalah agama yang satu hingga hari kiamat?
Nabi shallallahu 'alaihi wa 'ala aalihi wa sallam bersabda:
ﻻ تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لايضرهم من خذلهم حتى يأتي أمر الله وهم كذلك
"Senantiasa ada golongan dari umatku yang menang di atas kebenaran tidak memudharatkan mereka orang-orang yang menelantarkan mereka hingga datang urusan Allah sedang mereka tetap di atas kebenaran."
Semoga para masyaikh taroju' dari fatwa ini, kita akan lihat apa yang akan diperbuat ishlahiyyun, wallahul mustaan.
Sumber:
aloloom.net: Bantahan Syaikh Muqbil rahimahullah terhadap para pendukung PEMILU
aloloom.net: عبيد الجابري يبيح التصويت في الانتخابات في مصر بحجة الأخف ضررا !!! (والرد عليه بكلام أهل العلم)
Berikut ini adalah fatwa Syaikh Fauzan tentang hukum pemilu
Ikut serta didalam Demokrasi dan Pemilu berarti Menyeburkan diri kita ke dalam Kancah/Pesta Sistem Kuffur Thoghut Demokrasi yang telah diadopsi oleh Kaum Kuffar.
Dan telah Jelas sekali bahwasannya Sistem Demokrasi yg Kuffur bertentangan/Menyelisihi dan sangat berlawanan/nenyimpang dengan Syari'at Islam.
Bagaimana mungkin bisa disamakan ketika (didalam Sistem Demokrasi), satu Suara orang Kafir yang Penzina dan Peminum Khomer disamakan dengan satu Suara seorang Ahli Ilmu dan Ibadah (Ulama) dari kalangan Kaum Mukmin...
Kekhawatiran sebagian Kaum Muslim Terhadap Syi'ah yang akan Memimpin Negeri ini jika kita tidak ikut Nyoblos, maka kami katakan:
Ini hanyalah was was yg berasal dari Syaitan yang disebarkan oleh Orang2x Jahil dan tergesa-gesa...
Adapun Fatwa Sebagian Ulama Sunnah yang membolehkan ikut Pemilu (dengan Syarat-syarat tertentu), maka Ketahuilah bahwa Fatwa seorang Ulama BUKANLAH WAHYU yang WAJIB diikuti..Jika Fatwanya bertentangan dengan Dalil yang shahih, maka kita boleh (bahkan wajib) Tinggalkan, seperti apa yang pernah dikatakan oleh Ke-empat Imam Madzhab Rahimakumullah yang berkata:
"Jika ada Pendapatku yang Menyelisihi Dalil Shahih, maka buanglah Pendapatku, dan Ambillah (ikuti) Dalil yang Shahih itu..."
Serta, jika ada Masylahatnya didalamnya (jika Ikut Pemilu), maka tanyakan dimana Masylahatnya...?
Karena, tentang Fatwa dari sebagian Ulama yang membolehkan ikut serta dalam Pemilu, rata-rata dari mereka (para Ulama itu) Tidak atau belum tahu Bagaimana Keadaan Tokoh2x kaum Muslimin Negeri ini yang ikut di Dalam Parlemen Demokrasi disini...
Dan mereka juga belum tahu bagaimana Keadaan Kaum muslimin di Negeri ini...
Dan, bagi mereka yang Mengatakan bahwa Syi'ah akan Menguasai Negeri ini, jika kaum Muslimin (Ahlus Sunnah) Meninggalkan Pemilu, maka kami
katakan:
Apakah mereka yakin akan hal ini terjadi? Dan apakah mereka Mengetahui hal-hal yang Ghaib...??
Sehingga mereka berani meramalkan keadaan ini? Jika Dahulu (disekitar tahu 70 an) kaum kaum Muslimin ditakut-takuti dengan Kekuasaan PKI yang akan Memimpin dan Menguasai Negeri ini, jika kaum muslimin meninggalkan Pemilu, maka saat ini SYI'AH lah yang sangat ditakuti...
(Namun, apa-apa yang ditakuti Tentang PKI di tahun itu gak terjadi, walaupun ada sebagian kaum kaum muslimin Meninggalkan Pemilu pada saat itu) Padahal,kita dilarang berkata-kata hal0hal yang Belum (Tentu) terjadi.
Dan berkata-kata "seandainya" atau "jikalau"...Karena Perkataan ini Membuat Celah masuknya Syaitan...
Wajib bagi kita orang-orang yang beriman Meyakini bahwa Allah Ta'ala PASTI Menjaga orang-orang yang Selalu Menjaga Agama-Nya...
Allah Ta'ala akan Menjaga Negeri ini, jika Penduduk Negeri ini selalu bertaqwa (Men-Tauhidkan) Allah 'Azza wa Jalla..
Dan, bagaimana mungkin bagi kita, Ketika kitaakan Mengingkari Pemerinthahan yang Kuffur,tetapi dengan Tata Cara Kuffur (Demokrasi : Syirkul Akbar -wal 'iyadzubillah- ) yang kita ikuti...
Yang wajib diketahui,
Dengan kita Mengingkari & Berlepas diri dari Sistem Thoghut Kuffur (Demokrasi) Namun bukan berarti kita Keluar dari Keta'atan kepada Pemerintah Negeri ini...
Kita Tetap Ta'at kepada Pemimpin Negeri ini dalam Urusan yang Ma'ruf saja, Tetapi kita tidak ta'at (berlepas diri) kepada mereka dalam Urusan yang Menyimpang dari dari Syari'at Islam...
Karena: Tidak ada Keta'atan kepada Makhluk dalam Bermaksiat kepada Allah Ta'ala...
Semoga Allah Ta'ala menjaga diri kita dan KaumMuslimin, Negeri ini dan Pemimpin Negeri ini agar selalu diatas Hidayah (Petunjuknya) dan Selalu
Istiqomah diatas Agama-Nya yang Lurus...
Aamiin.
Wallahu Ta'ala a'lam
Sumber Nukilan dari:
beberapa Faedah dari Kajian Rutin setiap Ahad pagi oleh Al Ustadz Al Fadhil Yazid bin Abdul Qadir Jawas Hafizhahullahu Ta'ala di Masjid Imam Ahmad bin Hanbal pada Ahad 28 Jumadil Akhir 1435 H/30 Maret 2014 M.
Kajian pada hari Ahad tanggal 30 Maret 2014 di Masjid Imam Ahmad bin Hanbal, Bogor, Ustadz Yazid memberikan nasihat khusus terkait fitnah demokrasi yang sudah lama menimpa kaum muslimin.
Beliau membawakan surat Al Hujurat ayat 6, artinya
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan) yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu." (Surat Al Hujurat ayat 6)
Beliau membawakan ayat tersebut karena akhir-akhir ini banyak tersebar berita terkait politik yang tidak jelas kebenarannya, tidak jelas siapa yang mengabarkannya dan tidak jelas pula apa tujuan berita tersebut.
"Dan apabila sampai kepada meraka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya. Padahal apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara meraka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya secara resmi dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu)." (Surat An Nisa ayat 83)
Syaikh berkata dalam tafsirnya: "Ini merupakan pelajaran adab dari Allah kepada hamba-hambanya atas perbuatan meraka yang tidak layak. Sepatutnya bagi mereka, apabila datang satu perkara dari perkara-perkara yang penting serta terkait kemashlahatan umum, berkaitan dengan keamanan, berkaitan dengan kegembiraan kaum mukminin atau dengan ketakutan yang padanya adanya musibah atas kaum mukminin, hendaknya mereka mengecek terlebih dahulu. Dan jangan mereka terburu-buru untuk menyebarkan berita itu. Bahkan hendaknya mereka mengembalikannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, yaitu orang-orang yang berfikir, orang-orang yang berilmu, orang-orang yang memberikan nasihat, orang-orang yang berakal. Dimana mereka mengetahui suatu perkara serta mengetahui mashlahat-mashlahat, dan juga kebalikan darinya (yaitu mudhorotnya). Dan jika mereka melihat apabila menyebarkannya adalah mashlahat dan memberikan semangat kepada kaum mukminin, menggembirakan mereka, dan juga menjaga diri mereka dari musuh-musuh, maka mereka lakukan yang demikian itu. Dan apabila mereka melihat tidak ada sama sekali mashlahat atau hanya sedikit kemashlahatannya dan lebih banyak kemudharatannya, maka mereka tidak menyebarkan berita itu. Akan mengetahui dari mereka hukum-hukum dari hasil pemikiran meraka yang lurus, dan dari ilmu mereka yang mendapat petunjuk dari Allah Ta'ala. Dan di dalam ayat ini ada larangan agar tidak terburu-buru untuk menyebarkan berita. Perkara tersebut harus dilihat dengan hati-hati sebelum berbicara. Apakah hal itu mashlahat, yang seorang itu bisa melaksanakannya. Atau hal itu tidak mashlahat, yang orang itu menahan diri darinya. Karena taufik dan rahmat dari Allah kepada kalian, Allah mengajarkan adab kepada kalian, Allah mengajarkan kepada kalian apa yang kalian tidak ketahui. Jika tidak karena rahmat dan taufik-Nya, kalian akan mengikuti syaitan. Pada sesungguhnya sifat manusia itu zhalim dan jahil, dan nafsunya menyeru kepada kejelekan. Apabila dia berlindung kepada Allah, dia memohon kepada Allah, dan dia bersungguh-sungguh pada yang demikian, maka Allah akan memberikan kasih sayang kepadanya dan Allah akan memberikan taufik kepada dia dari setiap kebaikan dan Allah akan jaga orang itu dari godaan syaitan yang terkutuk."
Lalu Ustadz Yazid membawakan kisah yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim tentang suatu berita bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam menalak seluruh istri-istrinya. Berita itu telah tersebar, lalu Umar bin Khatab bertanya kepada Rasulullah tentang kebenaran berita itu, Rasulullah berkata berita itu tidak benar.
Dari kisah tersebut ada pelajaran adab tentang menyebarkan berita. Penyebaran berita yang tidak sesuai dengan keadaan, maka akan menimbulkan fitnah. Dan saat ini telah tersebar kabar yang membuat ketakutan di tengah kaum muslimin. Berita seperti yang mengabarkan ketakutan jika pemimpinnya orang Syiah, jika mereka berkuasa maka akan membunuh kaum muslimim. Berita seperti itu jelas tidak boleh disebarkan. Kenapa? Karena tidak jelas siapa yang menyebarkannya, bisa saja yang pertama kali yang mengirim itu syaitan atau orang Syiah itu sendiri. Seharusnya kita berpikir dahulu atas berita tersebut sebelum menyebarkannya. Dan apakah semudah itu Syiah akan berkuasa lalu akan langsung membunuhi kaum muslimin? ALLAH MEMBERIKAN PEMIMPIN YANG ZHALIM KARENA RAKYATNYA JUGA YANG ZHALIM. Hal itu telah Allah terangkan di dalam Quran.
----------------------------------------------------------------
Lalu Ustadz Yazid memberikan penjelasan tentang demokrasi, beliau merujuk beberapa kitab Para Ulama seperti Syaikh Abu Nashr bin Muhammad Al Imam yang diberi muqaddimah oleh Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al Washoby. Demokrasi bukan dari Islam, demokrasi bermula 500 tahun sebelum masehi di Yunani. Demokrasi berprinsip bahwa kekuasaan tertinggi adalah di tangan rakyat. Dari segi ini saja sudah bertentangan dengan Islam, Quran dan Sunnah. Lalu apakah akan bersatu antara Islam dengan Demokrasi? Jawabannya adalah TIDAK. Kenapa demikian?
"Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat." (Surat Al Imran ayat 105)
----------------------------------------------------------------
Lalu Ustadz Yazid membahas fatwa yang beredar, beliau mengatakan bahwa PENDAPAT ULAMA BUKAN WAHYU. Meskipun ada SERIBU FATWA ULAMA, TIDAK AKAN MENGALAHKAN WAHYU. Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Syafi'i dan Imam Hanafi mengatakan "JIKA ADA PENDAPATKU YANG MENYELISIHI SUNNAH MAKA BUANGLAH!" Para Ulama berfatwa sesuai pertanyaan. Belum tentu fatwa mereka sesuai keadaan sesungguhnya. Ulama yang mengerti permasalahan di suatu negeri adalah ULAMA NEGERI ITU SENDIRI. Contoh: Syaikh Muqbil bin Hadi memfatwakan HARAMNYA PEMILU, karena beliau tinggal di negeri demokrasi.
Lalu apakah bisa dipikir dengan akal yang sehat ketika suara orang pintar (ahli ilmu) disamakan dengan orang bodoh, suara orang shalih disamakan dengan orang tholeh, suara wanita disamakan dengan suara laki-laki, suara orang ISLAM disamakan dengan orang KAFIR? Hanya pada demokrasi suara itu akan disamakan. Itu adalah kondisi NYATA di negeri ini.
Kemashlahatan ummat Islam hanya akan terwujud sebagaimana di dalam surat At Taubah ayat 33 yang artinya,
"Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukainya." (Surat At Taubah ayat 33)
----------------------------------------------------------------
Demikian tulisan yang dapat penulis susun dari rekaman kajian Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas -hafizhahullah- pada hari Ahad tanggal 30 Maret 2014 di Masjid Imam Ahmad bin Hanbal Bogor, atas izin beliau untuk menulis dan menyebarkannya. Jika terdapat kesalahan, maka penyusun tulisan ini yang akan menanggung kesalahannya.
Selesai diketik pada hari Rabu, tanggal 9 April 2014 pukul 02.35 WIB, Cileungsi, Bogor.
Abu 'Utsman Agus Waluyo
================
Semoga Allah menjadikan kita orang yang mau mendengar nasehat serta mengikuti yang terbaik...
1. Fatwa ulama itu bukan nash , diterima dan ditolak sesuai kaidah dan dalil ( nasehat para salaf kita ).
2. Fatwa untuk suatu negri tidak bisa diterapkan pada negri lain kecuali sama keadaannya ( syeikh utsaimin ).
3. Dipelajari fatwa tersebut pada keadaan yang bagaimana yang ulama inginkan dengan bolehnya pemilu , tidak lantas dipukul rata dan dipakai hujah untuk pemilu .
4. Mashlahat maz'umah ( mashlahat bersifat sangkaan tidak menghalalkan mafsadah yang jelas dan pasti ) ( qowaidul fiqhiyah ). Ikut pemilu mashlahatnya baru perkiraan akan tetapi dia telah menghalalkan suatu yang harom dan demokrasi termasuk syirik dalam rububiah membikin syariat tandingan untuk Allah .
5. Ketakutan akan hal tersebut hanyalah was-was syaithon dan manusia yang terus menumbuhkan rasa takut untuk tetap berpegang dengan syariat yang mulia ini , dari mana mereka terima kabar2 tadi dari manusia ......? " sesungguhnya para syaithon terus menakut2i wali2 Allah , maka janganlah engkau takut pada mereka takutlah hanya kepada Allah ...". Akan inilah akan itulah , kalau tidak begini akan begitu dan seterusnya .... Takut dengan was2 manusia, akan tetapi tidak takut kepada Allah ini adalah kesyirikan.... Lebih besar manakah ketakutan mereka kalau umat ini berma'shiat kepada Allah yang jelas hukumannya atau meninggalkan pemilu yang belum jelas mashlahatnya ....?
6. Tidak baik urusan umat ini kecuali dengan mengerjakan perkara yang dilakukan umat terdahulu dari kembali keagamanya .
7. Jagalah dirimu baru engkau selamatkan saudaramu .
8. Sementara engkau selalu berma'shiat kemudian berangan2 mau menyelamatkan agamamu , mau menyelamatkan negaramu , mau menyelamatkan umat islam .... ini adalah igauan dan hayalan belaka.... Ketahuilah tidak akan meyelamatkan umat ini dengan kema'shiatan..... Carikan apa yang disisi Allah baik kebaikan , keselamatan , kenikmatan dengan jalan mentaatinya bukan dengan cara2 ma'shiat.
9. Kalau kita lihat orang2 yang ketakutan akan hal ini mereka kurang ilmu dan ibadah kepada Allah perbuatannya hanyalah mengobrol menggunjing seandainya dia banyak mendekatkan diri kepada Allah dia akan tenang .
10. Banyak berdoa dan semakin mendekatkan diri kepada Allah jangan banyak berdebat pada perkara yang semua sama2 tidak tahu menahu.... " kalau seandainya penduduk suatu negri beriman dan bertaqwa akan kami bukakan pintu2 barokah dari langit juga bumi.....".
Kontroversi Fatwa Palestina
Untuk menjawab masalah ini, maka kami akan menjelaskan duduk permasalahan fatwa Syaikh al-Albani tentang masalah Palesthina ini dalam beberapa point berikut[24]:
1. Hijrah dan jihad terus berlanjut hingga hari kiamat tiba.
2. Fatwa tersebut tidak diperuntukkan kepada negeri atau bangsa tertentu.
3. Nabi Muhammad sebagai Nabi yang mulia, beliau hijrah dari kota yang mulia, yaitu Mekkah.
4. Hijrah hukumnya wajib ketika seorang muslim tidak mendapatkan ketetapan dalam tempat tinggalnya yang penuh dengan ujian agama, dia tidak mampu untuk menampakkan hukum-hukum syar’I yang dibebankan Allah kepadanya, bahkan dia khawatir terhadap cobaan yang menimpa dirinya sehingga menjadikannya murtad dari agama.
Inilah inti fatwa Syaikh al-Albani yang seringkali disembunyikan!!
Imam Nawawi berkata dalam Roudhatut Tholibin 10/282:
“Apabila seorang muslim merasa lemah di Negara kafir, dia tidak mampu untuk menampakkan agama Allah, maka haram baginya untuk tinggal di tempat tersebut dan wajib baginya untuk hijrah ke negeri Islam…”.
5. Apabila seorang muslim menjumpai tempat terdekat dari tempat tinggalnya untuk menjaga dirinya, agamanya dan keluarganya, maka hendaknya dia hijrah ke tempat tersebut tanpa harus ke luar negerinya, karena hal itu lebih mudah baginya untuk kembali ke kampung halaman bila fitnah telah selesai.
6. Hijrah sebagaimana disyari’atkan dari Negara ke Negara lainnya, demikian juga dari kota ke kota lainnya atau desa ke desa lainnya yang masih dalam negeri.
Point ini juga banyak dilalaikan oleh para pendengki tersebut, sehingga mereka berkoar di atas mimbar dan menulis di koran-koran bahwa Syaikh al-Albani memerintahkan penduduk Palesthina untuk keluar darinya!!! Demikian, tanpa perincian dan penjelasan!!!
7. Tujuan hijrah adalah untuk mempersiapkan kekuatan untuk melawan musuh-musuh Islam dan mengembalikan hukum Islam seperti sebelumnya.
8. Semua ini apabila ada kemampuan. Apabila seorang muslim tidak mendapati tanah untuk menjaga diri dan agamanya kecuali tanah tempat tinggalnya tersebut, atau ada halangan-halangan yang menyebabkan dia tidak bisa hijrah, atau dia menimbang bahwa tempat yang akan dia hijrah ke sana sama saja, atau dia yakin bahwa keberadaannya di tempatnya lebih aman untuk agama, diri dan keluarganya, atau tidak ada tempat hijrah kecuali ke negeri kafir juga, atau keberadaannya untuk tetap di tempat tinggalnya lebih membawa maslahat yang lebih besar, baik maslahat untuk umat atau untuk mendakwahi musuh dan dia tidak khawatir terhadap agama dan dirinya, maka dalam keadaan seperti ini hendaknya dia tetap tinggal di tempat tinggalnya, semoga dia mendapatkan pahala hijrah. Imam Nawawi berkata dalam Roudhah 10/282: “Apabila dia tidak mampu untuk hijrah, maka dia diberi udzur sampai dia mampu“.
Demikian juga dalam kasus Palesthina secara khusus, Syaikh al-Albani mengatakan: “Apakah di Palesthina ada sebuah desa atau kota yang bisa dijadikan tempat untuk tinggal dan menjaga agama dan aman dari fitnah mereka?! Kalau memang ada, maka hendaknya mereka hijrah ke sana dan tidak keluar dari Palesthina, karena hijrah dalam negeri adalah mampu dan memenuhi tujuan”.
Demikianlah perincian Syaikh al-Albani, lantas apakah setelah itu kemudian dikatakan bahwa beliau berfatwa untuk mengosongkan tanah Palesthina atau untuk menguntungkan Yahudi?!! Diamlah wahai para pencela dan pendeki, sesungguhnya kami berlindung kepada Allah dari kejahilan dan kezhaliman kalian!!.
9. Hendaknya seorang muslim meyakini bahwa menjaga agama dan aqidah lebih utama daripada menjaga jiwa dan tanah.
10. Anggaplah Syaikh al-Albani keliru dalam fatwa ini, apakah kemudian harus dicaci maki dan divonis dengan sembrangan kata?!! Bukankah beliau telah berijtihad dengan ilmu, hujjah dan kaidah?!! Bukankah seorang ulama apabila berijtihad, dia dapat dua pahala dan satu pahala bila dia salah?! Lantas, seperti inikah balasan yang beliau terima?!!
11. Syaikh Zuhair Syawisy mengatakan dalam tulisannya yang dimuat dalam Majalah Al Furqon, edisi 115, hlm. 19 bahwa Syaikh al-Albani telah bersiap-siap untuk melawan Yahudi, hampir saja beliau sampai ke Palesthina, tetapi ada larangan pemerintah untuk para mujahidin”.
Syaikh al-Albani sampai ke Palesthina pada tahun 1948 dan beliau sholat di masjidil Aqsho dan kembali sebagai pembimbing pasukan Saudi yang tersesat di jalan. Lihat kisah selengkapnya dalam bukunya berjudul “Rihlatii Ila Nejed”. (perjalananku ke Nejed).
Kami kira, keterangan singkat di atas cukup untuk membungkam mulut-mulut durhaka dan tulisan-tulisan hina yang menuding dengan sembrangan kata[25]!! Wallahu A’lam.
Faedah: Para penulis buku “Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai NU…” dalam hujatan mereka terhadap al-Albani banyak berpedoman kepada buku “Fatawa Syaikh al-Albani wa Muqoronatuha bi Fatawa Ulama” karya Ukasyah Abdul Mannan, padahal buku ini telah diingkari sendiri oleh Syaikh al-Albani secara keras, sebagaimana diceritakan oleh murid-murid beliau seperti Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi dan Syaikh Salim al-Hilali. (Lihat Fatawa Ulama Akabir Abdul Malik al-Jazairi hlm. 106 dan Shofahat Baidho’ Min Hayati Imamil Al-Albani Syaikh Abu Asma’ hlm. 88). Dengan demikian, jatuhlah nilai hujatan mereka terhadap al-Albani dari akarnya. Alhamdulillah.
[24] Lihat As-Salafiyyun wa Qodhiyyatu Falestina hal. 14-37. Lihat pula Silsilah Ahadits ash-Shohihah no. 2857, Madha Yanqimuna Minas Syaikh, Muhammad Ibrahim Syaqroh hlm. 21-24, al-Fashlul Mubin fi Masalatil Hijrah wa Mufaroqotil Musyirikin, Husain al-Awaisyah, Majalah Al-Asholah edisi 7/Th. II, Rabiu Tsani 1414 H.
[25] Syaikh al-Albani mengatakan: “Sesungguhnya apa yang ditulis oleh saudara yang mulia Muhammad bin Ibrahim Syaqroh dalam risalah ini berupa fatwa dan ucapanku adalah kesimpulan apa yang saya yakini dalam masalah ini. Barangsiapa yang menukil dariku selain kesimpulan ini, maka dia telah keliru atau pengikut hawa nafsu”.
Fatwa Syaikh Al ‘Allamah Abdul Muhsin Al ‘Abbad Tentang Jihad di Dammaj
Berikut ini adalah teks pertanyaan akhuna Abdurrahman Al Umaysan (thalib asal Yaman yang studi di Jami’ah Islamiyyah) terhadap Syaikhuna Al Abbad:
قد سألت شيخنا العلامة عبدالمحسن العباد البدر – حفظه الله – ظهر يوم الثلاثاء الموافق 4 من شهر الله المحرم هـ1433 في مسجده عن الجهاد في دماج وماذا تنصحوننا أن نفعل وكذلك أهل اليمن – إذ إن شيخنا متتبع لأخبارهم منذ فرض عليهم الحصار-؟
Saya bertanya kepada syaikhuna Al ‘Allamah Abdul Muhsin Al ‘Abbad -hafizhahullah- pada hari Selasa siang, tgl 4/1/1433 H di mesjid beliau; tentang jihad di Dammaj dan apa yang antum nasehatkan supaya kami dan warga Yaman lakukan, mengingat engkau -wahai Syaikh- selalu mengikuti berita mereka sejak pengepungan dimulai?
فأجاب شيخنا متألما: لا شك أن ما يحصل في دماج من قتال هو جهاد في سبيل الله فمن استطاع من أهل اليمن أن يقاتلهم فليفعل لكن لابد من استئذان الأبوين وأنا أقول مناوشة الرافضة من جوانب متعددة هو الأولى، لأن الوصول لدماج والقتال معهم صعب لأنهم محاصرون من كل جانب
Maka Syaikh menjawab dengan nada sedih: Tidak diragukan bahwa perang yang terjadi di Dammaj adalah JIHAD FI SABILILLAH. Siapa pun dari warga Yaman yang bisa memerangi mereka, hendaklah turut serta, namun harus minta izin terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya. Menurutku, menyerang kaum rafidhah dari banyak sisi lebih diutamakan, mengingat sulitnya untuk masuk ke Dammaj dan sulitnya berperang bersama mereka (ikhwan kita -pent), karena mereka dikepung dari seluruh penjuru.
ختم الشيخ بقوله: الله يدمر الرافضة الله يدمرهم
Syaikh lantas menutup jawabannya dengan mengatakan: Semoga Allah menghancurkan kaum Rafidhah… semoga Allah menghancurkan mereka !
Keterangan:
Jawaban Syaikh di atas menunjukkan bahwa jihad bagi selain warga Dammaj sifatnya fardhu kifayahdan statusnya sebagai jihad thalabi (offensif), karenanya beliau mensyaratkan harus izin orang tua terlebih dahulu, dan mensyaratkan bagi ‘yang mampu melakukannya’. Adapun izin pemerintah/waliyyul amri maka tidak perlu dipertanyakan sebab pemerintah Yaman sendiri telah berulang kali terlibat perang dengan kaum Syi’ah Hutsiyiin selama tujuh tahun belakangan… sehingga izin mereka secara implisit (dhimni) telah terwujud sejak dahulu.
UCAPAN : JAZAAKALLOHU KHOIR
(HR.At-Tirmidzi (2035), An-Nasaai dalam Al-kubra (6/53), Al-Maqdisi dalam Al-mukhtarah: 4/1321, Ibnu Hibban: 3413, Al-Bazzar dalam musnadnya:7/54. Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi)
Berikut ini fatwa Al-Allamah Abdul Muhsin hafizhahullah, semoga bermanfaat.
Pertanyaan 1:
sebagian ikhwan ada yang menambah pada ucapannya dengan mengatakan “jazakallah khaeran wa zawwajaka bikran” (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan dan menikahkanmu dengan seorang perawan),dan yang semisalnya. Bukankah tambahan ini merupakan penambahan dari sabda Rasul shallallahu alaihi wasallam ,dimana beliau mengatakan “sungguh dia telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya.?
Beliau menjawab:
Tidak perlu (penambahan) doa seperti ini,sebab boleh jadi (orang yang didoakan) tidak menginginkan do’a yang disebut ini.Boleh jadi orang yang dido’akan dengan do’a ini tidak menghendakinya.Seseorang mendoakan kebaikan,dan setiap kebaikan sudah mencakup dalam keumuman doa ini.Namun jika seseorang menyebutkan do’a ini,bukan berarti bahwa Rasulullah r melarang untuk menambah dari do’a tersebut.Namun beliau hanya mengabarkan bahwa ucapan ini telah mencukupi dalam menyatakan rasa syukurnya. Namun seandainya jia dia mendoakan dan berkata: “jazakallahu khaer wabarakallahu fiik wa ‘awwadhaka khaeran” (semoga Allah membalas kebaikanmu dan senantiasa memberkahimu dan menggantimu dengan kebaikan pula” maka hal ini tidak mengapa.Sebab Rasul Shallallahu alaihi wasallam tidak melarang adanya tambahan do’a.Namun tambahan do’a yang mungkin saja tidak pada tempatnya,boleh jadi yang dido’akan dengan do’a tersebut tidak menghendaki apa yang disebut dalam do’a itu.
Pertanyaan 2:
Ada sebagian orang berkata:ada sebagian pula yang menambah tatkala berdo’a dengan mengatakan : jazaakallahu alfa khaer” (semoga Allah membalasmu dengan seribu kebaikan” ?
Beliau -hafidzahullah- menjawab:
“Demi Allah ,kebaikan itu tidak ada batasnya,sedangkan kata seribu itu terbatas,sementara kebaikan tidak ada batasnya.Ini seperti ungkapan sebagian orang “beribu-ribu terima kasih”,seperti ungkapan mereka ini.Namun ungkapan yang disebutkan dalam hadits ini bersifat umum.”
Pertanyaan: apakah ada dalil bahwa ketika membalasnya dengan mengucapkan “wa iyyakum” (dan kepadamu juga) ?
Beliau menjawab:
“tidak, sepantasnya dia juga mengatakan “jazakallahu khaer” (semoga Allah membalasmu kebaikan pula), yaitu didoakan sebagaimana dia berdo’a, meskipun perkataan seperti “wa iyyakum” sebagai athaf (mengikuti) ucapan “jazaakum”, yaitu ucapan “wa iyyakum” bermakna “sebagaimana kami mendapat kebaikan,juga kalian” ,namun jika dia mengatakan “jazaakalallahu khaer” dan menyebut do’a tersebut secara nash,tidak diragukan lagi bahwa hal ini lebih utama dan lebih afdhal.”
(transkrip dari kaset: durus syarah sunan At-Tirmidzi,oleh Al-Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad hafidzahullah,kitab Al-Birr wa Ash-Shilah,nomor hadits:222).
(Diterjemahkan oleh Abu Karimah Askari bin Jamal)
Berikut ini transkrip dalam bahasa Arab:
يقول السائل : بعض الإخوة يتطرق فيزيد على (جزاك الله خيرا وزوجك بكرا) ونحو ذلك.أليس في هذا استدراك على قول النبي صلى الله عليه وسلم فإنه يقول ((فقد أبلغ في الثناء))
فأجاب :ولا حاجة بهذا الدعاء قد يكون ما يريد هذا الشيء الذي دعي به ,أي نعم قد يكون الإنسان الذي دعي بهذا أنه لا يريده .فالإنسان يدعو بالخير وكل خير يدخل تحت هذا العموم .فالإنسان يأتي بهذا الدعاء وليس معنى ذلك أن الرسول × نهى عن ذلك يعني لا يزيد على هذا وإنما أخبر أن هذا فيه إبلاغ بالثناء ,لكنه لو دعا له فقال: جزاك الله خيرا وبارك الله فيك وعوضك خيرا ما فيه بأس ,لأن الرسول × مامنع من الزيادة .لكن مثل هذه الزيادة التي قد تكون في غير محلها ,قد يكون صاحب المدعو له لا يريد هذا الشيء الذي دعي له به .
السؤال: والآخر يقول :يزيد البعض فيقول : جزاك الله ألف خير
فأجاب: والله الخير ليس له حد ,ليس له حد والألف هذا محدود,والخير بدون حد .لكن هذا مثل عبارات بعض الناس :ألف شكر شكر مثل ما يعبرون.لكن التعبير بهذا الذي جاء في هذا الحديث عام
السؤال: هل هناك دليل على أن الرد يكون بصيغة (وإياكم)؟
فأجاب: لا , الذي ينبغي أن يقول وجزاكم الله خيرا) يعنى يدعى كما دعا, وإن قال (وإياكم) مثلا عطف على جزاكم ,يعني قول (وإياكم) يعني كما يحصل لنا يحصل لكم .لكن إذا قال: أنتم جزاكم الله خيرا ونص على الدعاء هذا لا شك أنها أوضح وأولى
(مفرغ من شريط دروس شرح سنن الترمذي ,كتاب البر والصلة ,رقم:222)
Duduk ‘Ngaji’ atau Tahiyat Masjid?
ما الأفضل إذا دخل رجل المسجد وكان فيه درس الأفضل أن يجلس أو يصلي تحية مسجد؟
Pertanyaan, “Jika seorang masuk dan menjumpai ada pengajian yang sedang berlangsung manakah yang lebih baik langsung duduk ikut pengajian ataukah shalat tahiyatul masjid terlebih dahulu baru ikut pengajian?”
يصلي ركعتين خفيفتين تحية المسجد لحديث رسول الله صلي الله عليه وسلم ( إذا دخل أحدكم المسجد فلا يجلس حتي يركع ركعتين ) ثم يجلس للدرس كما أمر النبي صلي الله عليه وسلم الغطفاني، «لما دخل وهو يخطب الجمعة قال: صليت؟ قال: لا. قال: قم فاركع ركعتين فتجوز فيهما»
Jawaban Syaikh Abdul Aziz ar Rajihi, “Yang lebih afdhol adalah shalat dua rakaat tahiyatul masjid dengan cepat mengingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah satu di antara kalian masuk masjid maka janganlah dia duduk sehingga mengerjakan shalat sebanyak dua rakaat”.
Setelah itu baru duduk mengikuti pengajian sebagaimana yang Nabi perintahkan kepada al Ghathfani yang masuk masjid saat Nabi sedang menyampaikan khutbah Jumat. Ketika itu, Nabi bertanya, “Apakah engkau telah mengerjakan shalat [tahiyatul masjid, pent]?”. “Belum”, jawab al Ghathfani. Nabi lantas bersabda, “Bangunlah dan kerjakan shalat sebanyak dua rakaat dengan agak cepat”.
فإذا كانت خطبة الجمعة 0 المسلم مأمور بأن يصلي ركعتين قبل أن يجلس فالدرس كذلك لكن يصلي ركعتين خفيفتين قبل الجلوس لدرس العلم.
Jika demikian ketentuan untuk khutbah Jumat. Seorang muslim tetap diperintahkan untuk mengerjakan shalat sebanyak dua rakaat sebelum duduk mendengarkan khutbah maka pengajian hukumnya juga demikian. Namun ingat, hendaknya shalat dua rakaat tersebut dikerjakan dengan agak cepat sebelum duduk mendengarkan pengajian”.
Sumber:
http://shrajhi.com/?Cat=1&Fatawa=1201