Latest Movie :
Recent Movies

Tanggapan Saikh Muhammad al Madkhali tentang apa yang sedang terjadi di Tunisia

Seorang ikhwah dari Tunisia bertanya " ya shaikh, mengenai keadaan sekarang ini yang terjadi di Tunisia, berupa kekacauan dan huruhara..apa saran anda tentang ini?

jawab: Demi Allah! kami tidak membenarkan dan menyetujui dengan apa yang terjadi di Tunisia. Pada kenyataannya, mereka (para pemberontak oposisi) tidaklah mengikuti ajaran Nabi Shallallahu alaihi wasallam ataupun para sahabat Radhiyallahu anhum dalam masalah ini . Mereka hanya mengikuti Barat : Eropa dan Amerika. Dan buktinya mudah dicari karena terdapat pada apa yang didengung-dengungkan oleh pemimpin oposisi dari negara ini. Ada yang berkata bahwa apakah itu dari partai sosialis ataupun dari kelompok sayap kiri atau dari kelompok2 lain yang kami dengar..mereka semua membawa pendapat yang sama yaitu
" Kami belum mencapai tingkat yang sama dalam masalah kebebasan berpendapat sebagaimana yang dimiliki oleh orang Barat!"
Masya Allah!!..
Ini artinya bahwa anda bisa berbicara mengenai apa saja yang anda sukai walaupun itu ucapan kemaksiatan, kekafiran, kebidahan, kesesaran, dsb. Ide ini adalah suatu kebatilan.

Untuk menyelesaikan masalah ini seorang hambaAllah harus kembali kepada-Nya dengan cara yang baik, melalui tobat yang ikhlas dan mengharap serta menempuh jalan-Nya Allah tabaaraka wa ta'ala. Sekali ini dilakukan, maka mereka bisa mengharapkan datangnya kebaikan. Namun, jika mereka mencoba menyelesaikan masalah dengan mengimitasi Barat, maka tidaklah mereka mengharapkan kecuali jalan keluar yang buruk. Hasilnya akan berupa kerusakan, dan kami berlindung kepada Allah dari hal tersebut! Dan sebagaimana yang anda lihat , kita bisa menyaksikan ratusan nyawa melayang dan terluka. Kematian meningkat secara dramatis, Di Aljazair sekitar 50-an dan di Tunisia juga sama.

Juga apakah diperbolehkan seseorang membunuh dirinya karena dia tidak mendapat pekerjaan? Membakar tubuhnya? Inilah yang menyulut semua kejahatan yang terjadi di Tunisia sekarang dan ini adalah hal yang terlarang. Ini tidak diperbolehkan.

Beliau Shallallahu alaihi wasallam pernah menghabiskan 2 bulan tanpa makanan selain kurma dan air. Demi Allah, aku bertanya kepadamu! Apakah mereka (di Tunisia) mencapai keadaan seperti itu ? Subhanallah! Pada waktu itu, tidak ada api yang dinyalakan (untuk memasak) di rumah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam. Jadi, mereka bersabar. Dan ketika mereka menunjukkan kesabaran, dan rasa takut kepada Allah, maka Allah memberkati mereka. Mereka mesti bertobat kepada Allah dan kembali kepada-Nya. seperti firman-Nya yang artinya:

maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. (Nuh 10 - 12)

Maka diwajibkan kepada kita untuk kembali kepada Allah, dan jika kita telah melakukannya maka Allah akan menghilangkan kejahatan yang menimpa.

Pada tahun kekeringan (ramadah) dimasa kepemimpinan khalifah Umar bin khattab, apakah orang orang pergi keluar demonstrasi dan berkata tidak ada pekerjaan? tidak ada makanan? standar kehidupan rendah? mereka tidak melakukan ini ! Inilah wahai saudaraku! Mereka mempelajarinya dari Barat kafir. Dan ini tidak diperbolehkan! Kita umat Islam dan kita punya aturan dan bimbingan tersendiri. kita bersabar sampai Allah-lah yang membawa keselamatan pada kita. Dengan sabar dan tabah kita berusahakeras untuk kembali kepada Allah dengan mengkoreksi diri sendiri. Dan mengajak orang orang untuk kembali kepada-Nya dan mereformasi diri sendiri maka Allah akan mengubah keadaan mereka. Allah berfirman :

Dan bahwasanya: jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak). (Aljin:16)

dan firman-Nya :

Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (AtThalaq:4)

Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.(AtThalaq:3)

Sekarang kita harus mengingatkan umat tentang perbedaan antara kita dengan orang kafir. DAn memperingatkan mereka dengan apa yang telah Allah karuniakan, apa yang Dia perintahkan kepada kita melalui ayat-ayatNya yang jelas dan apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam lewat hadits2 shahih mengenai permasalahan ini. Maka penting untuk memahami bahwa orang-orang kafir memiliki cara sendiri dalam menyelesaikan masalah mereka, dan metode mereka itu tidak cocok untuk kita. Tidak mencocoki kita berdasarkan syariah ataupun dalam urusan dunia. Diwajibkan bagi kita untuk mengikuti petunjuk Allah.

Dan sungguh menyedihkan ketika mengamati dua aliran yang ada pada mereka (pemberontak oposisi):

1. Gerakan politik Orang orang ateis, sekuler, sosialis dan komunis, dan..

2. Ikhwani (kelompok Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan AlBanna) yang mengambil pemikirannya dari golongan Khawarij

Kedua kelompok ini memanas-manasi warga, yang mana mereka anggap sebagai kayuapi sehingga mereka bisa memasak dan bersantap dengannya. Warga masyarakat ini adalah bahan bakar mereka. Warga yang malang ini mati sehingga buah bisa dikumpulkan, artinya kelompok lain bisa memasak di atas kayuapi itu. Mereka yang tewas dan yang membakar tubuhnya adalah salah satu darinya, ateis sesat ataupun mubtadi' khawarij. Merekalah yang menyulut api fitnah. Kita harus tahu bahwa seorang muslim harus taat ( pada pemerintah dalam perkara yang baik), patuh, walaupun dicambuk atau bahkan kehilangan harta miliknya. Padahal mereka (para oposisi) ridak pernah dicambuk atau dirampas hartanya. Tapi mereka membawa kematian pada diri mereka sendiri dan menjarah harta orang lain: merusak rumah, membakar mobil, toko, bank dan gedung gedung pemerintah. Ini tidak diperbolehkan! Nabi Shallallahu alaihi wasallam memerintahkan kita untuk taat dan patuh (pada pemimpin) walaupun mereka bertindak melampaui batas pada hak kita. Ini yang wajib bagi kita.

Dan kita mesti memberikan hak mereka dan memohon kepada Allah atas hak kita. Dan jika kita gagal mendapatkan hak ini di dunia, maka kita akan menerimanya bersama Allah tabaaraka wata'ala. Aku mohon kepada Allah keselamatan bagi kita semua.

Direkam pada hari Rabu 8 Safar 1432 H/ 12 januari 2011

sumber : http://blog.athaar.org/?p=255

Tahdzir Ulama Kibar Terhadap Jama’ah Tahdzir

Syaikh Al-Allamah Abdul Aziz bin Baz

Al-Allamah, al-Mufti al-Alim, Samahatus Syaikh Abdil Aziz bin Abdullah bin Bazz – rahimahullahu- berkata, sebagaimana termuat dalam harian al-Jazirah, ar-Riyadh, asy-Syirqul Awsath, Sabtu 22/6/1412 H, sebagai berikut :

“Telah merebak di zaman ini tentang banyaknya orang-orang yang menisbatkan diri kepada ilmu (tholibul ‘ilm, pent.) dan terhadap dakwah kepada kebajikan (da’i, pent.) yang mencela kehormatan kebanyakan saudara-saudara mereka para du’at yang masyhur dan memperbincangkan kehormatan (menjelekkan, pent.) para thullabul ‘ilm (penuntut ilmu), para du’at dan khatib (penceramah). Mereka melakukannya secara sirriyah (sembunyi-sembunyi) di dalam majelis-majlis mereka, dan bisa jadi ada yang merekamnya di kaset-kaset kemudian disebarkan kepada manusia. Terkadang pula mereka melakukannya secara terang-terangan di dalam muhadharah ‘am (ceramah umum) di masjid-masjid. Cara ini menyelisihi dengan apa-apa yang diperintahkan Allah dan rasul-Nya, dengan beberapa alasan :
Pertama.

Hal ini merusak hak-hak kaum muslimin, dan khususnya para penuntut ilmu dan da’i yang mengerahkan segenap usahanya di dalam mengarahkan manusia, menunjuki mereka dan membenahi aqidah dan manhaj mereka. Mereka bersungguh-sungguh di dalam mengatur/mengelola durus (pelajaran-pelajaran) dan muhadharaat (pengajian-pengajian) serta penulisan buku-buku yang bermanfaat.
Kedua.

Hal ini memecah belah persatuan kaum muslimin dan memporak porandakan barisan mereka, dimana ummat ini lebih membutuhkan kepada persatuan dan menjauhi dari berkelompok-kelompok dan berpecah belah serta menjauhi dari banyaknya qiila wa qoola (perkataan-perkataan yang tidak jelas, pent.) di tengah-tengah ummat. Khususnya kepada du’at yang dicela, padahal mereka adalah termasuk dari ahlis sunnah wal jama’ah yang dikenal akan sikap mereka dalam memerangi bid’ah dan khurofat, memerangi orang-orang yang menyeru kepada bid’ah dan khurafat, dengan cara menyingkapkan kesalahan-kesalahan dan kekurangan mereka (para penyeru bid’ah dan khurafat). Kami tidak melihat adanya mashlahat (kebaikan) di dalam perilaku semacam ini (yaitu mencela para du’at), melainkan akan memberikan maslahat bagi musuh-musuh Islam dari kaum kuffar, munafik, dan ahli bid’ah serta kesesatan.
Ketiga.

Sesungguhnya perbuatan ini (yaitu mencela para du’at), akan membantu dan menolong orang-orang yang menyimpang dari kalangan kaum atheis, sekuler dan lainnya. Dimana mereka ini tersohor akan permusuhannya terhadap para du’at islam dan terkenal akan pengadaan kedustaan terhadap mereka dengan menghasut melalui buku-buku maupun kaset-kaset rekaman. Hal ini (mencela para du’at) bukanlah hak dalam persaudaraan dalam Islam bagi orang-orang yang dengki itu dengan membantu musuh-musuh mereka terhadap saudara-saudara mereka thullabul ‘ilmi dan para du’at.
Keempat.

Hal ini akan menyebabkan rusaknya hati umat ini secara umum dan mereka sendiri secara khusus, dengan menyebarkan dan mengedarkan kedustaan serta merebakkan kebathilan. Hal ini merupakan sebab berkembangnya ghibah, namimah (mengadu domba) dan pembuka pintu-pintu kejahatan bagi orang-orang yang jiwanya lemah, yang mana mereka ini akan menyebarkan syubuhat dan meluaskan fitnah serta mendorong mereka menghancurkan kaum mukminin.
Kelima.

Sesungguhnya kebanyakan perkataan-perkataan tersebut tidaklah berdasar. Sesungguhnya perkataan-perkataan tersebut hanyalah bersumber dari dugaan (imajinasi) yang Syaithan menghiasinya dan memperdayainya. Allah Ta’ala berfirman.
Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah olehmu kebanyakan dari purbasangka, karena sesungguhnya sebagaian purbasangka itu adalah dosa.” [Al-Hujurat : 11-12]

Selayaknyalah bagi seorang muslim membawa ucapan saudaranya seislam pada sebaik-baik tempat (kepada makna yang paling baik). Sebagian Salaf berkata, “Janganlah engkau berprasangka buruk terhadap perkataan yang dilontarkan saudaramu sedangkan engkau dapat membawa perkataan tersebut pada makna yang baik.”


Keenam,

Apa yang didapatkan dari ijtihad sebagian ulama dan penuntut ilmu dari perkara-perkara yang memang memungkinkan di dalamnya berijtihad, maka orang tersebut tidak boleh disalahkan apalagi dicela, jika ia memang ahli ijtihad. Jika sekiranya ada orang lain yang menyelisihinya, selayaknyalah ia berdiskusi dengannya dengan cara yang baik, dengan mengharapkan memperoleh kebenaran dan dengan menolak waswas syaithan yang hendak memecah belah kaum mukminin. Jika hal ini tidak memungkinkan dan ia beranggapan harus menerangkan penyelewengannya, maka hendaklah dengan ungkapan-ungkapan yang baik dan ucapan-ucapan yang lembut tidak kasar tanpa celaan ataupun ucapan yang sia-sia yang dapat menyebabkan seseorang menolak kebenaran atau bahkan menjauhi kebenaran, juga tanpa menyebutkan perorangan atau menuduh niat atau menambah ucapan-ucapan yang tidak dimaksudkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda tentang perkara ini, ‘mengapa ada kaum yang berkata demikan dan demikian??
1‘”

Syaikh Al-Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Abani

Berkata Syaikh kami yang mulia, al-Muhaddits al-Ashr al-Mujaddid al-Faqih Muhammad Nashirudin al-Albani -Rahimahullah- di dalam kaset Silsilah al-Huda wan Nur ash-Shouthiyah no 784 side A, sebagai berikut :

Syuf (perhatikan) wahai saudaraku! Aku menasehatkanmu dan para pemuda lainnya yang berada di jalan munharif (menyeleweng) sebagaimana tampak pada kami, wallahu a’lam, untuk tidak membuang-buang waktumu untuk mencela satu dengan lainnya dan sibuk dengan mengatakan fulan begini dan fulan berkata begitu. Dikarenakan, pertama, hal ini tidaklah termasuk ilmu sama sekali, dan yang kedua, uslub (cara) ini akan merasuk ke dada dan menyebabkan kedengkian serta kebencian di dalam hati. Wajib atasmu menuntut ilmu!!! Karena ilmulah yang akan menyingkapkan apakah perkataan ini yang mencela Zaid atau fulan dari manusia dikarenakan dirinya memiliki banyak kesalahan, apakah berhak bagi kita untuk menyebutkan shohibul bid’ah atau mubtadi’ ataukah tidak?? Apa yang harus kita lakukan dengan mendalami perkara ini?? Aku tidak menasehatkanmu untuk mendalami seluruh perkara ini dengan benar-benar, karena hakikatnya kita sekalian sedang mengeluhkan perpecahan ini yang terjadi di tengah-tengah orang-orang yang berintisab (menisbatkan diri) pada dakwah al-Kitab dan as-Sunnah, atau sebagaimana kita menyebutnya, Dakwah Salafiyah.!!!

Perpecahan ini, wallahu a’lam, penyebab utamanya adalah dorongan jiwa yang memerintahkan kepada keburukan (an-Nafsul ammarah bis suu`) dan bukanlah perselisihan pada sebagian pemikiran. Inilah nasehatku. karena telah sering aku ditanya, ‘apa pendapatmu tentang fulan?’, dan aku langsung faham bahwa ia (penanya) orang yang memihak atau memusuhi. dan terkadang orang yang ditanyakan adalah diantara saudara-saudara kita terdahulu yang dikatakan dia menyimpang, maka kami bantah penanya tersebut, apa yang engkau inginkan terhadap fulan dan fulan??

Berlaku luruslah sebagaimana engkau diperintahkan! Tuntutlah ilmu! Dengan ilmu engkau akan dapat memilah-milah mana yang thalih dan mana yang shalih, mana yang bathil dan mana yang haq.!!! Kemudian janganlah engkau ini mendengki terhadap saudara seislam dikarenakan ia jatuh kepada beberapa kesalahan. Kami tidak mengatakan salah, namun kami katakan ia menyimpang dalam satu, dua atau tiga perkara, dan perkara lainnya ia tidak menyimpang.

Kita dapati para Imam Ahli Hadits yang menerima haditsnya (orang yang menyimpang) dan disebutkan di dalam riwayatnya ia khariji atau murji`i atau lainnya. Ini semua adalah aib dan kesesatan, namun diperoleh pada timbangan tersebut yang mereka berpegang teguh padanya. Kita tidak menimbang beratnya keburukannya dari kebaikan-kebaikannya atau dua atau tiga keburukannya terhadap banyaknya kebaikannya, dan yang terbesar adalah syahadat Laa ilaaha illa Allah wa Muhammad Rasulullah.”

Syaikh juga berkata tentang definisi siapakah mubtadi’ itu di dalam kaset Silsilah Huda wa Nur ash-Shouthiyah no 785 side B, sebagai berikut :

“Atsar Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu bermanfaat untuk menunjukkan contoh dari terjatuhnya seorang alim kepada bid’ah tidaklah serta merta menjadikannya mubtadi’ dan jatuhnya seseorang kepada perbuatan haram, dengan pernyataan memperbolehkan apa-apa yang diharamkan secara ijtihad, tidak serta merta menjadikannya sebagai pelaku keharaman. Saya katakan, atsar Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu ini menunjukkan bahwasanya ia dulu berdiri menasehati manusia pada hari Jum’at sebelum sholat, berfaidah untuk menunjukkan contoh yang shahih, bahwa bid’ah yang terkadang terjatuh kepada seorang alim, tidaklah dengan demikian ia menjadi seorang mubtadi’.

Sebelum masuk ke jawaban yang lengkap, aku katakan, al-Mubtadi’ adalah berawal dari kebiasaannya mengada-adakan bid’ah di dalam agama, dan tidaklah orang yang mengada-adakan bid’ah, walaupun ia mengamalkannya bukan karena ijtihadnya, namun dari hawa nafsunya, tidak serta merta dikatakan dia mubtadi’!! contoh terjelas yang paling dekat dengan perkara ini adalah, seorang hakim yang dhalim yang terkadang berlaku adil pada sebagian hukum-hukumnya, tidaklah bisa disebut hakim adil, sebagaimana pula seorang hakim yang adil yang terkadang melakukan kedhaliman di sebagian hukum-hukumnya, tidaklah dinamakan dirinya hakim dhalim. Hal ini berkaitan erat dengan kaidah fiqh islami yang menyatakan bahwasanya seorang manusia dilihat dari banyaknya kebaikan atau keburukannya. Jika kita telah mengetahui hakikat ini, maka kita dapat mengetahui siapakah mubtadi’ itu. maka, dengan demikian disyaratkan bagi mubtadi’ dua hal, yaitu pertama, dia bukanlah seorang mujtahid namun hanyalah pengikut hawa nafsu dan kedua, dia menjadikan bid’ahnya sebagai kebiasaan dan agamanya.”

Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Syaikh al-Imam Faqihuz Zaman, al-Allamah Muhammad bin Sholih al-Utsaimin -rahimahullahu- berkata saat Liqo`ul Babil Maftuh (Pertemuan terbuka) no 1322, sebagai berikut :

“Salafiyyah adalah ittiba’ terhadap manhaj Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan sahabat-sahabatnya, dikarenakan mereka adalah salaf kita yang telah mendahului kita. Maka, ittiba’ terhadap mereka adalah salafiyyah. Adapun menjadikan salafiyyah sebagai manhaj khusus yang tersendiri dengan menyesatkan orang-orang yang menyelisihinya walaupun mereka berada di atas kebenaran, maka tidak diragukan lagi bahwa hal ini menyelisihi salafiyyah!!!
Kaum salaf seluruhnya menyeru kepada Islam dan bersatu di atas Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, mereka tidak menyesatkan orang-orang yang menyelisihinya karena perkara takwil/penafsiran yang berbeda, Allahumma, kecuali dalam perkara aqidah, dikarenakan mereka berpandangan bahwa siapa-siapa yang menyelisihinya dalam perkara aqidah, maka telah sesat.

Akan tetapi, sebagian orang yang meniti manhaj salaf pada zaman ini, menjadikan manhajnya dengan menyesatkan setiap orang yang menyelisihinya walaupun kebenaran besertanya. Dan sebagian mereka menjadikan hal ini sebagai manhaj hizbiyah sebagaimana manhaj-manhaj hizbi lainnya yang memecah belah Islam. Hal ini adalah perkara yang harus ditolak dan tidak boleh ditetapkan. Dikatakan, ‘lihatlah kepada madzhab salafus shalih, apa yang mereka perbuat di dalam jalan mereka dan kelapangan dada mereka pada perkara khilaf yang memang diperbolehkan ijtihad di dalamnya, sampai pada taraf mereka berselisih di dalam perkara aqidah dan ilmu. engkau dapati mereka, misalnya, mengingkari Rasul Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melihat Rabbnya dan sebagian lagi menetapkannya, ada lagi yang berpendapat yang ditimbang pada hari kiamat nanti adalah anak dan sebagiannya berpendapat lembaran-lembaran amal-lah yang ditimbang õEngkau dapati pula mereka berselisih di dalam masalah fiqhiyah, baik dalam masalah nikah, faraidh, iddah, jual beli dan lain-lain. Walaupun demikian, mereka tidak saling menyesatkan satu dengan lainnya.

Jadi, salafiyah yang bermakna sebagai suatu kelompok khusus, yang mana di dalamnya mereka membeda-bedakan dan menyesatkan selain mereka, maka mereka bukanlah termasuk salafiyah sedikitpun!!! Dan adapun salafiyah yang ittiba’ terhadap manhaj salaf baik dalam hal aqidah, ucapan, amalan, perselisihan, persatuan, cinta kasih dan kasih sayang sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, ‘permisalan kaum mukminin satu dengan lainnya dalam hal kasih sayang, tolong menolong dan kecintaan, bagaikan tubuh yang satu, jika salah satu anggotanya mengeluh sakit, maka seluruh tubuh akan merasa demam atau ikut sakit.’ [Hadits Riwayat Muslim], maka inilah salafiyah yang hakiki!!!”

Syaikh Al-Allamah Bakr Abu Zaed

Asy-Syaikh al-Allamah Bakr Abu Zaed -hafidhahullahu- berkata dalam bukunya Tashnifun Naasi bain adh-Dhanni wal Yaqin hal 40-41, Cet. I, Darul ‘Aashimah, 1414 H.

“Dan upaya pemecahbelahan ini di tengah-tengah barisan Ahlus Sunnah, untuk kesekian kalinya sesuai dengan apa yang kita ketahui, ditemukan terjadi pada orang-orang yang berintisab (menyandarkan diri) sebagai Ahlus Sunnah sebagai orang-orang yang menentangnya, mereka menjadikan diri mereka menetapi ahlus sunnah dan menyandarkan bagian dari tujuannya untuk memadamkan ‘bara api’ ahlus sunnah. Mereka pun berdiri di jalan dakwah sembari melepaskan kendali lisan-lisan mereka dengan mengadakan kedustaan terhadap kehormatan para du’at, dan mereka temukan di jalan ahlus sunnah ini aral rintangan berupa fanatisme yang serampangan. Sekiranya anda melihat mereka! Orang-orang miskin yang memprihatinkan keadaan dan kerusakan yang ada pada mereka.
Mereka gemar ‘melompat’ dan ‘meloncat’, dan Allahlah yang lebih tahu tentang apa yang mereka upayakan. Anda akan benar-benar mendapatkan pada diri mereka sikap yang ceroboh dan sembrono dalam lamunan mereka yang melayang.

Mereka ‘mengibarkan’ perkara ini tanpa kaidah, seandainya anda berbantah-bantahan dengan salah seorang dari mereka, tatkala itu anda akan melihat modal semangatnya yang menggelegak tanpa bashirah. Yang mencapai akal-akal orang yang sederhana ini adalah semangat untuk menolong sunnah dan mempersatukan ummat, namun merekalah orang yang pertama kali akan menghancurkan sunnah dan mengoyak-ngoyak persatuan ummat…”

Syaikh Al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad

Syaikh al-Allamah Abdul Muhsin al-Abbad -hafidhahullahu- ditanya saat pelajaran (durus ) Sunan Abu Dawud, malam hari, 26 Shafar 1423 H., sebagai berikut :

Pertanyaan : Jika seandainya ada seorang syaikh berbicara mengenai seseorang dan menganggapnya mubtadi’, apakah harus seorang pelajar (tholib) mengambil tabdi’ ini? Ataukah harus mengetahui sebab-sebab tabdi’ terlebih dahulu, dikarenakan terkadang tabdi’ ini dimutlakkan atas seseorang walaupun ia multazim dengan sunnah?
Jawaban : Tidak setiap orang diterima perkataannya dalam perkara ini. Jika datang perkataan dari orang yang semisal Syaikh Ibnu Bazz atau Syaikh Ibnu Utsaimin, iya, mungkin untuk mempercayai ucapannya (mengambilnya, pent.). Adapun dari orang-orang yang ‘merangkak dan merayap’ (gemar menyebarkan desas-desus dan sembrono, pent.), maka tidak diambil perkatannya.
Pertanyaan : Masalah lain, tentang menerima khobar (berita) tsiqoh (orang yang terpercaya), apakah diterima perkataannya secara mutlak tanpa tatsabut? Misalnya dikatakan, fulan tersebut mencela dan memaki shahabat, sebagai contoh, apakah wajib bagiku menerima perkataan ini (langsung) dan menghukuminya (sebagai pencela sahabat, pent.) ataukah aku harus tatsabut?
Jawaban : (Anda) harus tatsabut!!!

Pertanyaan : Walaupun yang berkata demikian adalah salah seorang masyaikh?

Jawaban : Harus tatasabut!!! Orang yang berkata jika ia menisbatkan kepada kitabnya dan kitabnya eksis (maujud), sehingga memungkinkan ummat untuk merujuk kepada kitab ini. Adapun perkataan belaka yang kosong dari pokok (asas) yang disebutkan tentangnya terutama jika orang-orang tersebut masih hidup. Adapun jika ia termasuk dari para pendahulu kita dan dia memang dikenal dengan kebid’ahannya atau termasuk penghulu bid’ah, maka hal ini semua orang telah mengetahuinya, yaitu seperti Jahm bin Shofwan, dan demikianlah tiap-tiap orang yang berkata ia mubtadi’, maka sesungguhnya perkataannya benar, yaitu mengatakannya mubtadi’. Adapun terhadap orang-orang yang melakukan kesalahan sedangkan dia memiliki kesungguhan yang luar biasa dalam berkhidmat terhadap agama, kemudian dia tergelincir, maka seharusnya ummat ini menghukumi terhadapnya pada kesalahannya saja.

Pertanyaan : Jika didapatkan pada seorang alim perkataan yang mujmal (global) di dalam suatu perkara, dan terkadang perkataan mujmal tersebut secara dhohirnya menunjukkan kepada suatu perkara yang salah, dan didapatkan lagi padanya perkataan yang lain yang mufashshol (terperinci ) pada perkara yang sama tentang manhaj salaf, apakah dibawa perkataan seorang alim yang mujmal tersebut kepada perkara yang mufashshol?
Jawaban : Iya, dibawa kepada mufashshol, selama perkara tersebut adalah sesuatu yang masih samar, dan perkara yang jelas dan teranglah yang dianggap.

Syaikh Al-Allamah Sholih Fauzan al-Fauzan

Asy-Syaikh al-Allamah Sholih Fauzan al-Fauzan -hafidhahullahu- berkata saat pengajian tentang Aqidah dan Dakwah (III/69) sebagai berikut :

“Diantara kerusakan-kerusakan perpecahan yang demikian ini adalah mengakibatkan perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin, disebabkan disibukkannya mereka satu dengan lainnya dengan mentajrih (mencela) dengan gelar-gelar yang buruk. Tiap-tiap mereka menghendaki memenangkan diri mereka dari yang lainnya dan merekapun menyibukkan kaum muslimin dengan perihal mereka. Yang mana hal ini menjadi melebihi mempelajari ilmu yang bermanfaat. Sesungguhnya banyak dan banyak dari para penuntut ilmu yang bertanya sampai kepada kami bahwa semangat dan kesibukan mereka hanyalah memperbincangkan manusia dan kehormatan mereka, baik di majelis-majelis maupun perkumpulan mereka, sembari menyalahkan ini dan membenarkan itu, memuji ini dan menyatakan itu sesat… Tidaklah mereka ini disibukkan melainkan hanya memperbincangkan manusia..”
Syaikh al-Allamah ditanya saat pengajian tentang Aqidah dan Dakwah (III/57) sebagai berikut :
Pertanyaan : “Apa pendapat yang mulia tentang merebaknya celaan-celaan baik yang tertulis maupun yang didengar yang merebak di kalangan para ulama?? Tidakkah Anda memandang bahwa duduknya mereka untuk diskusi adalah lebih mulia?? Karena betapa banyak aturan-aturan islam yang rusak karena hal ini!!”
Jawaban : “Para ulama yang mu’tabar (dikenal keilmuannya) tidak ada pada diri mereka sedikitpun dari apa yang disebutkan dalam pertanyaan. Mungkin hal ini terjadi diantara para penuntut ilmu dan pemuda yang bersemangat, kami memohon hidayah dan taufiq Allah untuk mereka. Kami menyeru mereka untuk meninggalkan perbuatan tercela ini dan supaya mereka saling bersaudara di atas kebajikan dan ketakwaan, serta mengembalikan kepada para ulama terhadap perkara-perkara yang mereka sulit menentukan kebenarannya, dan agar mereka -para ulama- menjelaskan kepada mereka mana yang benar, dan supaya mereka tidak memberikan pengaruh pada fikiran dengan syubuhat sehingga mereka berpaling dari manhaj yang benar. Namun, janganlah difahami dari hal ini, meninggalkan bantahan terhadap kesalahan dan penyimpangan yang terdapat di sebagian buku-buku termasuk bagian nasehat bagi ummat.”
Syaikh ditanya pula saat pengajian Aqidah dan Dakwah (III/332) sebagai berikut :
Pertanyaan : “Syaikh yang mulia, apakah nasehatmu bagi para pemuda yang meninggalkan menuntut ilmu syar’i dan berdakwah kepada Allah dengan menceburkan dirinya ke dalam masalah perselisihan diantara pada ulama tanpa ilmu dan bashirah??
Jawaban: “Aku nasehatkan kepada seluruh saudara-saudaraku dan khususnya para pemuda penuntut ilmu agar mereka menyibukkan diri dengan menuntut ilmu yang benar, baik di Masjid, sekolah, ma’had maupun di perkuliahan. Agar mereka sibuk dengan pelajaran-pelajaran mereka dan apa-apa yang bermashlahat bagi mereka. Dan supaya mereka meninggalkan menceburkan diri kepada perkara ini -perselisihan ulama-, dikarenakan tidak ada kebaikannya dan tidak bermanfaat masuk ke dalamnya… hanya membuang-buang waktu saja dan merisaukan fikiran…
Hal ini termasuk penghalang amal shalih, termasuk mencela kehormatan dan menghasut kaum muslimin. Wajib bagi kaum muslimin umumnya dan para penuntut ilmu khususnya, supaya meninggalkan perkara ini dan agar mereka mengupayakan perdamaian (ishlah) semampu yang mereka bisa. Allah Ta’ala berfirman, ‘Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah kedua golongan saudara kalian tersebut, bertakwalah kepada Allah semoga engkau dirahmati.” (al-Hujurat : 10). Terhadap orang-orang yang anda lihat melakukan kesalahan, maka wajib bagi anda menasehatinya dan menjelaskan kesalahnnya secara empat mata, dan memohon kepadanya agar ia mau rujuk (kembali) kepada kebenaran. Inilah yang dibutuhkan nasehat
Syaikh Hafidhahullahu berkata saat pengajian Dhahiratut Tabdi’ wat Tafsiq wat takfir wa Dhawabithuha, sebagai berikut :
“Oleh karena itu, wajib bagi para pemuda Islam dan penuntut ilmu untuk mempelajari ilmu yang bermanfaat dari sumbernya dan dari ahlinya yang dikenal akan keilmuannya. Kemudian setelah itu, mereka akan tahu bagaimana berbicara dan bagaimana meletakkan sesuatu pada tempatnya, karena Ahlus Sunnah dulu maupun sekarang mampu menjaga lisannya dan mereka tidaklah berucap melainkan dengan ilmu..”

Fadhilatus Syaikh Nashir Abdul Karim al-Aql

Asy-Syaikh Nashir bin Abdul Karim al-Aql -hafidhahullahu- berkata saat pengajian Syarh Mujmal I’tiqod Ahlus Sunnah wal Jama’ah sebagai berikut :
“Orang-orang beriman seluruhnya adalah wali Allah dan bagi seluruh mukmin diberikan wala’ (loyalitas) sebatas tingkat keimanannya, demikian pula sebaliknya (diberikan baro’ah (kebencian/berlepas diri) sebatas tingkat kemaksiatannya, pent.).
Orang-orang kafir, seluruhnya adalah wali Syaithan dan tidak ada wala’ sedikitpun bagi orang kafir. Akan tetapi, mukmin yang bermaksiat, diberikan baro’ah kepadanya menurut kadar kemaksiatannya, demikian pula para pelaku bid’ah dari kaum muslimin, diberikan baro’ah menurut tingkat kebid’ahannya, dan bagi mereka wala’ sebatas keimanannya. Oleh karena itu, sesungguhnya orang kafir tidak terkumpul padanya wala’ dan baro’ sekaligus.
Seorang mukmin yang kholish (murni) yang berjalan di atas as-Sunnah, baginya wala dan kecintaan yang sempurna. Jika ditemukan padanya kemaksiatan atau kebid’ahan maka terkumpul padanya dua perkara: yaitu kita berwala’ terhadap kebaikan dan iman yang dimilikinya dan kita membenci terhadap kemaksiatan dan kebid’ahannya. Dengan demikian, mayoritas kaum mukminin pelaku kemaksiatan dan kebid’ahan yang tidak sampai mengeluarkan dari agama… mayoritas mereka… bahkan seluruhnya dari para pelaku kemaksiatan dan bid’ah yang kecil, bagi mereka kecintaan dan wala’ sebatas keimanan dan amal shalih yang ada pada mereka serta baro’ dan kebencian sebatas kemaksiatan dan kebid’ahan mereka.
Kaidah ini jarang dipegang oleh kebanyakan orang-orang yang lemah ilmunya dan dangkal pemahaman agamanya serta bodoh dengan manhaj salaf, sampai-sampai sebagian orang yang mengaku sebagai salafiy juga jatuh kepada hal ini, yaitu mereka memusuhi bid’ah dengan permusuhan yang kamil (sempurna), walaupun terkadang bid’ahnya tidak sampai tingkatan mengeluarkan pelakunya dari agama, dan terkadang pula kebid’ahan tersebut hanya sebagian kecil saja tidak menyeluruh pada seseorang. Sebagaimana pula mereka memusuhi kemaksiatan dengan permusuhan sempurna, atau memusuhi suatu penyelewengan dan kesalahan dengan permusuhan yang sempurna.
Sekarang kita perhatikan dampak dari penerapan perilaku ini, yang marak terjadi di tengah-tengah ahlus sunnah, yang menimbulkan keprihatinan dan percekcokan di dalam permasalahan agama, perkara Ijtihadiyah dan seputar dakwah kepada Allah. Kita dapatkan mereka saling berselisih tentang hal ini dan menerapkan kepada musuh dan lawan mereka sesama ahlus sunnah, baro’ah yang sempurna, sampai mereka membenci mereka, memperbolehkan menjelekkan mereka, menyebarkan aib mereka, mereka berniat karena Allah mendakwahi lawan mereka namun mereka menyebarkan aib mereka dan mentahdzir mereka.
Hal ini menyelisihi ushul (pokok) syariat. Iya memang, jika mereka melakukan kesalahan diperingatkan kesalahan-kesalahannya, namun tetap dengan mengakui keutamaan dan kemampuan yang mereka miliki. Ini adalah perkara dharuri (yang wajib dilakukan) atau jika tidak. akan timbul fitnah di tengah-tengah kaum muslimin. Demikian pula seorang yang menyimpang, wajib diberitahukan padanya, bahwa dirimu selaras dengan kebenaran dalam perkara yang memang benar dan dirimu menyelisihi kebenaran dalam perkara yang memang menyelisihi kebenaran. Dan janganlah mengobarkan kebencian di dada-dada kaum muslimin satu dengan lainnya sebagaimana cara yang dilakukan oleh orang-orang bodoh tadi. Bahkan saya katakan, tidak terlarang, di sini aku contohkan sedikit… termasuk tabiat dan adab islami jika anda berselisih dengan salah seorang saudara anda dan anda memandang ia melakukan kesalahan atau kebid’ahan yang cukup besar, anda memberikannya udzur setelah anda tidak mampu lagi memuaskan dirinya (dengan dalil), dan senantiasa berwala’ seraya mengatakan ‘aku mencintaimu karena Allah terhadap kebaikan dan kelurusan yang anda miliki’… (hal ini) tidak terlarang!!!
saudara-saudaraku yang kucintai karena Allah, hingga sampai-sampai jika ditemukan padanya kesalahan… (maka tidak apa-apa melakukan sebagaimana contoh di di atas, pent.)… yang dengan cara ini akan mendamaikan hati dan menghilangkan kebencian dan kedengkian yang dimiliki kaum mukminin satu dengan lainnya.
Sampai-sampai orang-orang bodoh tadi melupakan baro’ kepada orang kafir dan pelaku bid’ah yang berat, dimana mereka palingkan nash-nash tentang baro’ kepada saudara-saudara mereka. Aku takut mereka akan ditimpa -jika mereka tidak mau taubat dan kembali kepada kebenaran dan manhaj yang lurus- sebagaimana yang disifatkan nabi kepada salah satu kelompok ahlul bid’ah, ‘yang mereka ini memerangi ahlul islam dan membiarkan ahlul awtsan (penyembah berhala)’ yang datang dari hadits shahih ketika mensifatkan sebagian kelompok ahlul bid’ah.
Tentu saja, baro’ yang kamil (sempurna) merupakan jalan kepada peperangan. Seorang manusia yang baro’ kepada saudaranya muslim dengan baro’ yang sempurna berimplikasi terhadap penghalalan darahnya. Walaupun tidak terjadi saat ini saat ini, namun wajib bagi kita untuk berhati-hati dari sikap yang dapat mengeruhkan keadaan ini. Kita perlu tahu bahwa ahlus sunnah terkadang berselisih diantara mereka, terkadang ditemukan pada sebagian ahlus sunnah kesalahan pada manhajnya, akan tetapi tanpa maksud/kesengajaan -dikarenakan ijtihad-, terkadang pula ditemukan pada mereka ketergelinciran yang besar, akan tetapi tanpa kesengajaan yang tidak menyebabkan mereka berpecah belah, dan terkadang pula didapatkan pada sebagian ahlus sunnah suatu kebid’ahan, namun tidak banyak dan tidak termasuk bid’ah yang kategori berat.
Namun, tetap wajib bagi kita menyalahkan terhadap kesalahan yang ada pada mereka, namun kita tetap menganggap mereka, mencintai dan berwala’ terhadap mereka dari perkara-perkara yang benar jika mereka termasuk ahlus sunnah.
Wallahu a’lam. Semoga Sholawat senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan seluruh sahabat-sahabatnya.”

Oleh : Majmu’ Thullabatil Ilmi
Alih Bahasa :Abu Salma al-Atsari

1 Isyarat terhadap hadits yang diriwayatkan Sayyidah Aisyah Radhiyallahu ‘anha ketika berkata, ‘Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam jika menyampaikan sesuatu tentang seseorang beliau tidak berkata, ‘mengapa fulan berkata demikian’, namun beliau berkata, ‘mengapa ada kaum yang berkata demikian dan demikian?’.’ Hadits Shahih diriwayatkan Abu Dawud dalam bab al-Idznu wal Isti’dzan (izin dan meminta izin), lihat Silsilah ash-Shahihah no 2064.

Syarat Pergi Jihad

Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah ditanya,

Kami pernah mendengar bahwa jihad harus memenuhi dua syarat yaitu izin ulil amri kaum muslimin (pemerintah kaum muslimin) dan izin kedua orang tua. Apa nasehat engkau untuk kami –wafaqokumullah-? Kami pernah mendengar bahwa ada yang berfatwa kepada para pemuda untuk berangkat jihad ke ‘Iraq.

Syaikh hafizhohullah menjawab,

Memang betul bahwa berangkat jihad harus memenuhi dua syarat sebagaimana yang disebutkan oleh si penanya. Seandainya ada yang mengatakan bahwa jihad ke ‘Iraq adalah jihad yang syar’i –jika memang betul demikian-, maka tidak boleh engkau berangkat jihat hingga orang tuamu ridho (mengizinkan). Itu syarat pertama. Karena mengizinkanmu adalah hak mereka dan wajib bagi engkau untuk mentaatinya. Kedua, harus dengan izin ulil amri (pemerintah). Karena kewajibanmu adalah untuk mentaati ulil amri (pemerintah) karena engkau adalah sebagai rakyat dan engkau berada di bawah wewenang pemerintah. Oleh karenanya engkau wajib mentaati pemerintah. Allah Ta’ala berfirman,


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’: 59). Yang termasuk ulil amri adalah yang mengatur urusan kenegeraan, kemaslahatan dan yang menyatakan adanya keadaan darurat. Mereka yang mengatur demikian sesuai dengan kewenangan mereka. Kewajibanmu adalah tetap bersama jama’ah kaum muslimin. Tetap taatlah pada kedua orang tuamu dan tetaplah taat di bawah ulil amri. Tidak mengapa jika kalian mendo’akan kaum muslimin di mana saja mereka berada, di ‘Irak maupun tempat lainnya. Do’akan mereka agar selalu mendapat pertolongan dan kekuatan.

Diambil dari Majmu'atu Rosail Da’wiyyah wa Manhajiyah, Syaikh Sholeh Al Fauzan, terbitan Al Mirots An Nabawiyah, hal. 367-368

Hukum Tepuk Pramuka

Pertanyaan, “Apa hukum tepuk tangan untuk laki-laki di acara seminar dan berbagai pertandingan?

الجواب:

والتصفيق ثلاثة أقسام:

القسم الأول: أن يتخذ عبادة كما كان يفعل المشركون عند البيت، هذا حرام لا شك، قال الله تعالى: وَمَا كَانَ صَلاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً (٣٥)

Jawaban Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah, “Tepuk tangan untuk laki-laki itu ada tiga kategori:

Pertama, tepuk tangan yang dijadikan sebagai ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang musyrik di dekat Ka’bah. Tepuk tangan jenis ini jelas hukumnya adalah haram. Allah berfirman yang artinya, “Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan” (QS al Anfal:35).

القسم الثاني: أن يتخذ لهوا، كالذين يصفقون لهوا وطربا فهذا منهي عنه، إما نهي التحريم وإما نهي الكراهة.

Kedua, tepuk tangan yang dijadikan sebagai hiburan. Tepuk tangan jenis ini terlarang, boleh jadi hukumnya haram, minimal hukumnya adalah makruh.

القسم الثالث: أن يكون تشجيعا، يعني جرت العادة بأنه إذا صفق للإنسان ازداد نشاطا في ما هو فيه، فهذا لا بأس به، لأن الأصل فيما عدا العبادات ما هو؟ الحل والإباحة.

Ketiga, tepuk tangan yang dijadikan sebagai penyemangat. Artinya ada kebiasaan yang di masyarakat bahwa orang yang mendapat aplause akan semangat untuk melakukan apa yang sedang dia lakukan. Tepuk tangan jenis ini hukumnya adalah tidak mengapa karena hukum asal untuk perkara non ibadah adalah halal dan mubah.

وما أشد فرح الطالب إذا أجاب في فصله بالصواب ثم صفقوا له

Betapa gembiranya seorang siswa yang mendapatkan aplaus ketika memberikan jawaban yang benar dalam kelas.

أو- أقصد الطلبة في الابتدائي- أما أنتم ما شاء الله ما يهمكم هذا.

Yang aku maksudkan adalah siswa sekolah dasar. Sedangkan kalian para mahasiswa, tepuk tangan tidaklah penting bagi kalian

ما أشد فرحا وربما يطير من الماجة من الفرح، أفنمنع مثل هذا المثال للتشجيع بدون دليل؟

Betapa senangnya siswa tersebut. Boleh jadi dia akan meloncat-loncat karena perasaan gembira yang tidak karuan. Apakah hal semacam ini kita larang tanpa dalil?!

وأما قوله-صلى الله عليه و سلم-: التصفيق للنساء والتسبيح للرجال فهذا في الصلاة

Sedangkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tepuk tangan itu untuk perempuan sedangkan bacaan tasbih itu untuk laki-laki” [HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah], hadits ini berlaku dalam shalat (bukan dalam semua keadaan)”

[Fatwa ini beliau sampaikan pada sesi tanya jawab setelah berceramah di hadapan para mahasiswa Jamiah al Imam Ibnu Suud di Riyadh yang dilaksanakan di masjid universitas. Silahkan baca buku Washaya wa Taujihat li Thullabil Ilmi yang dikumpulkan oleh Prof Dr Sulaiman bin Abdullah bin Hamud Abu al Khoil, rektor Jamiah al Imam Ibnu Suud saat ini, hal 65, terbitan Dar Ibnul Haitsam Kairo, cet pertama 1426 H].

Catatan:

Dari tiga jenis tepuk yang dilakukan oleh laki-laki, tepuk pramuka lebih tepat dimasukkan dalam kategori yang kedua.

Sedangkan tepuk anak shalih dan tepuk-tepuk sejenis yang dikait-kaitkan dengan Islam termasuk dalam kategori kedua. Tidaklah boleh disandarkan kepada Islam kecuali yang menjadi bagian dari ajaran Islam, itulah semua yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya, baik perintah yang menghasilkan hukum wajib ataupun hukum anjuran.


Nasehat Tentang Qîla wa Qôla

Pertanyaan :

Apa nasehat Anda terhadap sebagian penuntut ilmu yang terlalu tergesa-gesa di dalam menvonis orang lain dan meng-ilzam-kan (mengharuskan) sesuatu yang tidak harus serta membesar-besarkan masalah yang memang ada perbedaan pendapat di dalamnya. Bahkan terhadap perbedaan pendapat yang ada kelapanga di dalamnya dan sebagiannya adalah perkara yang memang diperbolehkan adanya perbedaan pendapat. Hal ini menyebabkan pertikaian di antara para penuntut ilmu, bahkan (sebagian dari) mereka berlebih-lebihan di dalam mencela orang yang berbeda pendapat dengan mereka dan mereka pun menyebarkannya di beberapa situs internet sehingga menyebabkan fitnah diantara para penuntut ilmu?

Jawaban :

Yang wajib bagi setiap muslim, (termasuk) para penuntut ilmu adalah, hendaknya mereka bertakwa kepada Alloh Azza wa Jalla dan menyibukkan diri mereka dengan ilmu yang bermanfaat dan bersemangat di dalam menuntutny, serta hendaknya mereka mengetahui bagaimana metoda dan cara para ulama senior semisal Syaikh Ibnu Bâz, Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn, Syaikh asy-Syinqithî dan Syaikh al-Albâni rahimahumullâhu. Maksudnya, mereka ini seharusnya berupaya berada di atas metoda para ulama senior tersebut yang mana para ulama ini sibuk dengan ilmu.

Adapun mereka yang menyibukkan diri dengan qîla wa qôla, sibuk mencari-cari kesalahan dan mentahdzîr person-person yang dituduh begini dan begitu, atau person tersebut berkata begini atau begitu, kemudian mereka menyibukan diri dengan hal-hal yang mengalihkan mereka dari menuntut ilmu syar’i yang padahal tidak sepatutnya mereka sibuk dengan hal-hal seperti ini. Seharusnya mereka berupaya untuk menyibukkan diri memetik ilmu yang bermanfaat dari ahli ilmu (ulama) dan kembali (merujuk) kepada mereka.

Apabila didapati ada sebuah kesalahan dari mereka, sedangkan dia adalah dari kalangan ahlus sunnah, (dari kalangan) orang-orang yang sibuk dengan ilmu syar’i, maka tidak sepatutnya mereka dihajr, dibantah dan ditahdzîr. Bahkan, kalian seharusnya tetap menimba faidah darinya, namun dengan tetap menolak kesalahannya dan memperingatkan dari kesalahannya. Jika ia dihajr, ditelantarkan dan ditahdzîr, maka ini bukanlah termasuk jalan kebajikan dan bukan pula cara untuk mendapatkan ilmu. Karena ahlus sunnah, jika mereka menggunakan cara-cara seperti ini, yaitu menghantam setiap hal walaupun kecil, maka tidak akan tersisa satu orang pun dari kalangan ahlus sunnah yang selamat (dari hajr, tahdzîr, dls).

Oleh karena itu, wajib bagi penuntut ilmu untuk berupaya menuntut ilmu dan menyibukkan diri dengannya, dan tidak malah menyibukkan diri dengan qîla wa qôla. Karena siapa saja yang sibuk dengan hal ini maka ia tidak akan mendapatkan ilmu (yang bermanfaat) dan tidak akan tersibukkan dengan menuntut ilmu, mereka hanya akan sibuk dengan qîla wa qôla. Hal ini tidak mendatangkan manfaat sama sekali, bahkan hal ini akan mendatangkan madharat bagi mereka ketika mereka berbicara buruk tentang orang lain. Hal ini akan memutuskan jalan kebaikan dan ishlâh (perbaikan).

Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad
Sumber : Transkrip Liqô’ul Maftuh dalam acara Imâm Dârul Hijrah al-‘Ilmiyyah (3/7/1431)
di Masjid Qiblatain Madînah. (http:/albaidha.net/vb)

Hukum Uang Zakat Untuk Pembangunan Masjid

Syaikh Bin Baaz rahimahullah ditanya:

"Apa hukum mengarahkan zakat harta untuk pembangunan masjid yang hampir tidak terpakai, sebab pembangunannya yang terhenti?

Beliau menjawab:

"Yang diketahui dikalangan para ulama seluruhnya dan itu pendapat jumhur yang terbanyak, bahkan ini seperti ijma' dari kalangan para ulama salaf saleh terdahulu bahwa zakat tidak boleh diarahkan untuk pembangunan masjid dan pembelian kitab-kitab, dan yang semisalnya. Namun zakat hanya boleh diarahkan kepada 8 golongan yang datang penyebutannya didalam ayat dalam surah At- Taubah, mereka adalah: fakir, miskin, amil zakat, orang yang dilekatkan hatinya kepada islam (muallaf) , budak yang ingin merdeka, orang yang dililit hutang, fi sabilillah dan orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan, dan fi sabilillah khusus dalam urusan jihad. Inilah yang dikenal dikalangan para ulama . Tidak termasuk diantaranya mengarahkannya untuk pembangunan masjid, pembangunan sekolah- sekolah, jalan- jalan, dan yang semisalnya. Semoga Allah memberi taufik.

(majmu' fatawa Syaikh Bin Baaz: 14/294).
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Fatwa Ulama - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger